Pandemi Membawa ‘Berkah’, Berat Badan Turun 10,7 Kg

Saya ingat betul, selama SMA berat badan selalu mentok di angka 50 kg, tidak pernah lebih. Barulah ketika kuliah di Bandung, berat badan berkisar antara 55 ~ 58 kg. Lulus kuliah, karena sudah berpenghasilan, jadi lumayan sering makan yang enak, tidak terlalu banyak stress, masih sering jogging minimal 3 kali seminggu, berat badan berkisar antara 58 ~ 62 kg.

Saat masih tinggal di Jepang pun sama, berat badan stabil di 60 ~ 62 kg. Wajar, karena jarang makan makanan yang berminyak dan yang manis. Hanya sesekali (sebulan atau dua bulan sekali) makan di restoran Indonesia atau Thailand. Setiap hari minum teh hijau, yang awalnya terasa pahit, dan akhirnya menjadi kebiasaan. Selain itu, jalan kaki 4 km hampir setiap hari, 1 km dari apartemen ke stasiun, 1 km dari stasiun ke kampus, begitu juga saat pulang. Setiap Sabtu dan Minggu hampir selalu jogging minimal 5 km, bahkan pernah sampai 15 km sekali jogging.

Memanfaatkan Trotoar di dekat Apartemen sebagai Tempat Jogging (Aobadai, Jepang)

Selama tinggal di Jepang, mungkin merupakan pola hidup tersehat yang pernah saya jalani. Tanpa diet, berat badan stabil dan tidak pernah sakit sekalipun. Bayar asuransi kesehatan sekitar 1500 JPY setiap bulan, tapi tidak pernah dapat manfaatnya. Akhirnya saya gunakan untuk ke dokter gigi. Bersihkan karang gigi, memperbaiki gigi yang berlubang, dan malah geraham saya di-crown pakai metal karena sudah rusak parah. Btw, sistem asuransi kesehatan nasional di Jepang mirip BPJS Kesehatan di Indonesia, bedanya tidak ada kelas dan tetap harus bayar 30%, karena asuransi hanya mengcover 70% saja. Ada bagusnya juga, karena orang tidak sesukanya pergi ke fasilitas kesehatan walau hanya pusing sedikit, dan juga dokter tidak seenaknya memberi resep yang mahal-mahal.

Anyway, kembali ke topik. Sepulang dari Jepang, kebiasaan jogging masih tetap saya lakukan rutin 3-4 kali seminggu, 5 km atau 30 menit. Tapi, godaan makan makanan yang berminyak dan bersantan di Indonesia tidak terhindarkan. Gorengan, kerupuk, sambal, dan es teh manis hampir tidak pernah terlewatkan setiap harinya. Belum lagi kalau makan di restoran Padang, rendang, ayam pop, dendeng, sambal goreng ati kentang, gulai kikil, dan masih banyak lagi. Alhasil, meskipun rutin jogging, berat badan naik.

Siapa yang tidak tergoda dengan makanan ini?

Hal ini diperparah lagi, kalau banyak rapat. Entah kenapa di Indonesia, khususnya rapat dengan institusi pemerintahan, selalu saja ada snack dan bahkan makan siang (ini pakai uang pajak loh membiayainya). Selama di Jepang, sama seperti rapat dengan perusahaan swasta di Indonesia, hanya ada minuman (mostly tea). Bahkan beberapa kali rapat di Jepang, minuman pun tidak disediakan. Biasanya sebelum rapat, peserta membeli sendiri minuman di vending machine dan di bawa ke  ruang rapat. Anyway, semakin sering rapat, semakin sering mulut mengunyah, badan sedikit bergerak, dan lingkar perut membesar. Maret 2020, awal-awal Covid 19 masuk Indonesia, berat badan saya mencapai 74,2 kg.

Selama pandemi, praktis rapat-rapat dengan snack dan makan siang (gratis) berganti menjadi rapat online (mostly via Zoom). Ada yang saya tidak suka dengan rapat online ini, tidak mengenal waktu, bahkan pernah meeting sampai jam 12 malam. Tapi ada sisi positifnya, tidak perlu menghabiskan setengah hari di jalan, hanya untuk meeting 2 jam. Praktis, hemat waktu, hemat biaya, tidak perlu berbaju rapi, bahkan bangun tidur, cuci muka, bisa langsung join rapat.  

Karena ada banyak waktu, jadilah hobi saya memasak tersalurkan kembali. Makanan yang saya masak hanya makanan sederhana dan dengan bumbu seadanya (bawang putih dan bawah merah). Selain itu, ada banyak waktu juga untuk exercise di rumah, push up, sit up, dan angkat beban. Hidup jadi lebih teratur, bangun jam 5.15, biasanya melewatkan sarapan, saya tidak bisa minum susu karena intoleransi laktosa, hanya minum teh hijau campur madu, atau perasan lemon campur madu, makan siang jam 12.30, exercise jam 17.00, makan malam jam 19.00, dan tidur jam 23.00. Hampir setiap hari jadwalnya seperti itu kalau tidak ada kegiatan di luar atau keluar kota. Selain itu, mulai mengurangi makan nasi, dan lebih banyak minum air putih. Hasilnya, berat badan turun 10,7 kg menjadi 63,5 kg selama 13 bulan atau selama pandemi. Alhamdulillah.

Tinggalkan komentar